Langsung ke konten utama

Istihsna - Mikyar Istishna

Ishtishna’


Istishna dan istishna Wazi

footnote 1: Akad istishna  adalah akad menjual barang yang telah ditentukan kriteria dan sifatnya yang berada dalam tanggungan dan untuk dibuat dengan cara tertentu

footnote 2 :  istishna wazi dalam istilah kontemporer disebut dengan istishna wazi ini terlaksana ketika membuat dua akad yang terpisah. Salah satunya dengan pesanan  pembuatan dengan nasabah. Maka status lembaga keuangan syariah bertindak sebagai produsen. Sedangkan terhadap produsen yang sesungguhnya maka lembaga keuangan syariah bertindak sebagai pemesan.

Lembaga keuangan syariah mendapatkan keuntungan dari selisih harga pada  2 akad. Pada umumnya salah satu dari akad tunai, yakni akad antara lembaga keuangan syariah dengan produsen. Dan akad yang kedua tidak tunai yakni antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah.

  1. Ruang lingkup Mikyar

Mikyar  ini mencakup transaksi istishna dan istishna muwazi,  baik lembaga keuangan syariah bertindak sebagai pembeli atau penjual. Mikyar  ini tidak mencakup suku’ istishna karena suku’ istishna termasuk dalam pembahasan mikyar hukum investasi.


footnote 3 :  

Perbedaan antara akad istishna dengan ijarah,  

berbeda antara akad istishna dengan ijarah dimana akad ijarah merupakan akad atas suatu pekerjaan yang yang tidak mengharuskan si pekerja menanggung bahan baku.  Sedangkan akad istishna mengharuskan produsen menanggung bahan baku dan pekerjaan sekaligus. 

Perbedaan antara istishna dengan muqawalah,  

berbeda antara istishna dengan muqawalah. dimana muqawalah termasuk akad ijarah jika terbatas hanya bekerja saja.  Dan bahan baku berasal dari nasabah. Adapun muqawalah mencakup pekerjaan  kontraktor dan bahan bakunya berasal darinya maka ia dinamakan juga dengan akad istishna. 

Perbedaan antara akad istishna dan salam. 

berbeda antara istishna dengan jual beli salam istishna adalah akad atas barang yang telah di sifati dan dijamin yang disyaratkan padanya pekerjaan. Maka prosedurnya harus berjalan sesuai pesanan adapun salam adalah akad atas barang yang disifati dan dijamin tanpa disyaratkan padanya pekerjaan.

  1. Akad istishna 

footnote 4 :  istishna ditetapkan berdasarkan perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di mana beliau meminta dibuatkan cincin dan mimbar. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dan juga dari kaidah ihtihsan (kaidah umum) dalam akad-akad transaksi, serta maqashid Syariah. Istishna merupakan akad yang mengikat dan bukan hanya sekedar janji. Mengenai hal ini sudah ada resolusi dari Majma’ Al Fiqh Al Islami nomor 65-7/3 

2.1 Melaksanakan akad istishna secara langsung atau setelah saling berjanji 

2.1.1 Akad istishna boleh dilaksanakan antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah walaupun tanpa didahului dengan kepemilikan oleh lembaga keuangan syariah terhadap barang yang akan dijual atau terhadap bahan-bahan baku yang akan diproduksi menjadi objek istishna 

2.1.2 Lembaga keuangan syariah boleh mengambil manfaat dari penawaran penawaran harga yang didapatkan oleh nasabah dari pihak lain untuk menjadi pertimbangan dalam penetapan biaya-biaya dan keuntungan yang diharapkan 

2.1.3 Lembaga keuangan syariah tidak boleh hanya berperan sebagai pemberi kendaraan dalam akad istishna yang dilaksanakan antara nasabah dengan pihak ketiga khususnya ketika nasabah tidak sanggup menunaikan kewajiban pembayaran kepada pihak ketiga tersebut. Baik sebelum atau setelah pelaksanaan akad istishna tersebut, lihat pasal 4.2.2 

footnote 5 :  dasar hukum tidak diperbolehkannya peran perusahaan itu sekedar tamwil (pemutar uang) antara pemesan dan pihak lain adalah karena hal itu menyebabkan terjadinya riba dan akad istishna hanya sebagai cover saja.


2.2 Karakteristik akad istishna dan syarat-syaratnya 

2.2.1 Akad istishna bersifat mengikat kedua belah pihak, jika syarat-syaratnya terpenuhi yaitu penjelasan tentang objek istishna, jenis, kuantitas, kualitas, harga harus diketahui. dan batas waktu produksi jika ada. Pemesan memiliki hak khiyar yaitu hak memilih untuk menerima atau menolak jika objek istishna tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.

footnote 6 dasar hukum bahwa akad istishna mengikat kedua belah pihak adalah perkataan imam abu Yusuf yang ada di majalah Ahkam Aqlia bahwasanya produsen telah mengeluarkan biaya dan bekerja sesuai dengan pesanan, jika pemesan enggan mengambilnya maka hal tersebut mendatangkan mudharat kepada produsen 

2.2.2 Karena akad istishna adalah akad yang bersifat mengikat maka konsekuensi-konsekuensi dari akad istishna berlaku setelah dilaksanakan akad. Tidak butuh pengulangan ijab qobul setelah barang selesai dibuat hal ini berbeda dengan wa’at untuk melakukan akad murabahah di mana ijab qobul perlu dilaksanakan setelah lembaga keuangan syariah memiliki barang yang dijual. 

2.2.3 Produsen atau penjual tidak boleh mensyaratkan berlepas diri dari cacat pada barang dalam akad istishna.

footnote 7 :  dasar hukum tidak diperbolehkannya produsen mensyaratkan lepas tanggung jawab dari segala cacat objek atau barang adalah karena istishna merupakan transaksi barang yang telah di sifati dan dijamin sedangkan baroah hanya pada barang tertentu dan objek istishna adalah barang yang bersifat mutlak dan tidak tertentu.

2.2.4 Akad atau proses istishna tidak boleh dijadikan sebagai pengelabuan untuk pembiayaan ribawi. Seperti lembaga keuangan syariah yang bersepakat membeli barang produksi atau peralatan dari produsen dengan harga tunai lalu menjualnya kembali kepada produsen tersebut dengan cara tidak tunai dengan harga yang lebih mahal. Atau yang memesan barang untuk diproduksi adalah produsen itu sendiri, atau produsen adalah perusahaan yang dimiliki oleh pemesan atau nasabah dengan persentase saham 30% atau lebih sekalipun hal tersebut dilaksanakan dengan cara tender. Semua hal tersebut diharamkan untuk menghindari jual beli ‘inah.

footnote 8 dasar hukum tidak diperbolehkannya akad atau proses istishna dalam bentuk yang bisa dijadikan sebagai siasat untuk memutarkan harta riba adalah agar terhindar dari praktik riba atau mirip riba atau jual beli ‘inah yang diharamkan

  1. Objek istishna dan jaminan-jaminan akad ishtishna 

3.1 Hukum-hukum terkait objek istishna 

3.1.1 Akad istishna tidak boleh dilaksanakan kecuali pada bahan-bahan baku yang dapat diolah dan dapat diubah dari kondisi aslinya, selama produsen berkomitmen menyediakan objek yang diproduksi maka akad istishna syah.

footnote 9 :  Dasar hukum dilarangnya membuat akad istishna kecuali dalam hal-hal yang diproduksi manusia, adalah karena segala sesuatu yang tidak dibuat oleh manusia yaitu sesuatu yang tercipta secara alami seperti hasil pertanian, peternakan, buah-buahan, dan sayur-sayuran dan semisalnya maka tidak termasuk ke dalam hakikat istishna, yang mana istishna ini menjual barang yang dibuat oleh manusia.

3.1.2 Diperbolehkan melaksanakan akad untuk memproduksi objek istishna dengan spesifikasi khusus yang diinginkan oleh pemesan walaupun tidak ada barang yang serupa dengannya di pasar. Dengan syarat, objek istishna sesuai dengan spesifikasi. Objek boleh merupakan barang yang semisalnya banyak di pasar dan dapat menggantikan satu sama lain untuk memenuhi kewajiban, karena barang barang tersebut diproduksi dengan spesifikasi yang sama. Sama saja dalam hal ini barang yang diproduksi untuk dikonsumsi atau untuk digunakan dengan tetap mempertahankan zatnya.

footnote 10 :  Dasar hukum diperbolehkannya membuat akad atas objek mitsliyah dan tidak mitsliyah  adalah karena hal ini biasanya sering dikerjakan orang-orang. Dan hukum yang dibangun diatas kebiasaan akan berubah sesuai dengan kondisi. Setiap muamalah yang berjalan di atas konsep ini, dan terjaga sifat barangnya maka diperbolehkan untuk memproduksi barang tersebut baik untuk dikonsumsi atau digunakan.

3.1.3 Objek istishna  tidak boleh merupakan suatu barang  yang sudah ada dan tertentu. Seperti lembaga keuangan syariah berkata “aku jual mobil ini kepadamu atau pabrik ini”. Karena akad istishna berlaku pada sesuatu yang ditentukan spesifikasinya dan bukan barang yang tertentu. Tidak ada prioritas bagi pemesan terhadap apa yang telah mulai dikerjakan produsen, kecuali setelah diserahkan seluruhnya atau sebagiannya dan pemesan tidak memiliki prioritas atas bahan baku yang ada pada produsen untuk dilaksanakan produksinya kecuali jika produsen berjanji untuk tidak mengerjakan yang lain selain dari barang yang telah dipesan  oleh pemesan tersebut. sebagai jaminan untuk menyelesaikannya. 

Footnote 11 dasar hukum tidak diperbolehkannya objek istishna, objek yang tertentu zatnya, adalah karena istishna merupakan akad barang yang dijual dalam tanggungan. Dan jika barang yang dijual tertentu, maka hal tersebut termasuk jual beli barang yang tidak dimiliki oleh penjual. Dan hal ini hukumnya terlarang. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “ janganlah engkau jual apa yang tidak engkau miliki” hadits riwayat Tirmidzi. Dan karena biasanya objek istishna berasal dari tidak ada. Maka tidak mungkin objek tersebut tertentu. Dan barang yang tidak ada tergantung dengan tanggungan dan apa yang bergantung dengan tanggungan maka ia adalah dayn. Lihat majalah ahkam adliyah materi  5.1.8 

3.1.4 Boleh disyaratkan dalam akad istishna bahwa penyelesaian produksi oleh lembaga keuangan syariah itu sendiri. Dalam kondisi ini lembaga keuangan syariah wajib memenuhi persyaratan tersebut dan tidak boleh membuat perjanjian dengan pihak lain untuk menyelesaikan objek produksi.

footnote  12 :  dasar hukum diperbolehkannya bagi mustashni masyarakat dalam akad untuk menuntaskan produksi dari lembaga itu sendiri adalah, bahwa syarat ini tidak menghilangkan tujuan akad istishna bahkan mendukung hal tersebut. Karena bisa saja tujuan pemesanan  adalah pekerjaan lembaga itu sendiri, karena keistimewaannya dalam tingkat ketelitian dan kualitas objek istishna 

3.1.5 boleh bagi produsen menyerahkan barang produksi sebelum membuat akad istishna atau apa yang dibuat orang lain untuknya jika tidak disyaratkan memproduksi sendiri. Dan tidak boleh hal ini dijadikan sebagai alasan untuk menunda barang dan pembayaran dalam transaksi atas barang yang disebutkan spesifikasinya. Yang akan diserahkan di kemudian hari di mana barang tersebut tidak diniatkan untuk diproduksi

footnote 13 :  dasar hukum diperbolehkannya bagi shani’ menyerahkan apa yang ia produksi atau orang lain sebelum akad istishna dibuat jika shani belum mensyaratkan adalah karena hal tersebut merealisasikan tujuan atau maksud, dimana barang yang diserahkan mencakup spesifikasi yang disyaratkan dalam akad istishna 

3.1.6 produsen berkewajiban memproduksi objek istishna sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan dalam akad dan dalam jangka waktu yang telah disepakati atau dalam jangka waktu yang wajar. Sesuai dengan jenis kegiatan produksi yang diterima dan diakui menurut para ahli 

3.1.7 diperbolehkan membatasi jangka waktu garansi atau cacat barang yang diproduksi atau garansi pemeliharaan untuk waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak atau yang sudah menjadi urf.

footnote 14 :  dasar hukum diperbolehkannya mensyaratkan masa garansi cacat barang yang diproduksi adalah karena ia merupakan syarat yang dapat merealisasikan maksud istishna yaitu mengambil manfaat dari objek istishna dan hal tersebut tidak mungkin kecuali dengan terbebasnya barang dari semua cacat 

3.1.8 Diperbolehkan melaksanakan akad istishna untuk membangun bangunan diatas tanah tertentu yang dimiliki oleh pemesan ataupun produsen, atau di atas tanah yang hak gunanya dimiliki oleh salah satu dari keduanya. Dengan syarat bahwa objek istishna yang dibuat adalah bangunan yang spesifikasinya telah ditentukan, bukan merupakan tempat tertentu.

3.2 harga dalam akad istishna 

3.2.1 harga dalam akad istishna disyaratkan harus diketahui kedua belah pihak ketika melaksanakan akad. Boleh dalam bentuk uang barang atau jasa atau manfaat dalam jangka waktu yang telah ditentukan baik jasa atau manfaat dari barang yang lain atau barang yang diproduksi. Jasa atau manfaat dari barang yang diproduksi dapat dijadikan sebagai harga dalam akad istishna ketika pemerintah menawarkan akad istimewa yang memberikan jasa atau manfaat kepada produsen atau kontraktor untuk jangka waktu tertentu. Hal ini dikenal sebagai Build Operate Transfer (BOT)

footnote 15 :  Dasar hukum disyaratkan harga istishna’ harus diketahui adalah karena untuk menghilangkan ketidakjelasan dan penipuan yang berakibat kepada perselisihan. 

3.2.2 Pembayaran harga istishna  boleh ditunda  atau dibayar dengan beberapa kali angsuran yang diketahui dalam jangka waktu tertentu. Atau penyerahan objek istishna  dilakukan secara bertahap. Sebagian harga dapat dibayarkan dimuka sedangkan sisanya dibayarkan secara bertahap sesuai dengan tahapan penyerahan objek istishna.  Diperbolehkan mengaitkan angsuran dengan tahapan penyelesaian pekerjaan jika spesifikasi tahapan penyelesaian pekerjaan tersebut jelas menurut urf dan tidak akan menyebabkan perselisihan 

footnote 16 :  dasar hukum dibolehkannya mengakhirkan  pembayaran atau mencicilnya adalah karena pekerjaan dalam istishna merupakan bagian penting dari objek barang yang menjadikannya mirip dengan sewa, upah.  Dan sewa upah boleh dibayar belakangan, dan boleh juga di awal. Ini adalah pengecualian dari jual beli hutang dengan hutang yang dilarang dalam syariat. 

3.2.3 Jika pekerjaan terdiri dari beberapa tahapan atau pembayaran berdasarkan tahapan penyelesaian pekerjaan maka produsen boleh mensyaratkan kepada pemesan untuk melakukan pembayaran sesuai dengan tahapan pekerjaan yang telah diselesaikan sesuai dengan spesifikasi

3.2.4 diperbolehkan adanya perbedaan harga di setiap objek istishna sesuai dengan perbedaan tanggal penyerahan. Tidak ada larangan untuk melakukan sejumlah penawaran untuk dinegosiasikan dengan syarat hanya satu penawaran yang dipilih ketika melaksanakan akad terhindar dari gharar (ketidakjelasan) atau jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan perselisihan.

Footnote 17 :  Dasar hukum dibolehkan adanya perbedaan harga mengikuti perbedaan waktu penyerahan adalah qiyas atau analogi istishna kepada akad ijarah dimana  para ulama mengatakan bahwa pekerja jika menyelesaikan pekerjaan dalam 1 hari maka ia mendapatkan upah 2 dirham  dan jika ia menuntaskan dalam 2 hari maka upahnya 1 dirham. Keputusan ini dikeluarkan Nadwah Al barokah nomor  13.7

3.2.5 Akad istishna tidak boleh dilaksanakan berdasarkan jual beli murabahah. Misalnya dengan menentukan harga objek istishna berdasarkan harga pokok dan lama yang diketahui.

footnote 18 :  Dasar hukum tidak dibolehkannya menjalankan murabahah dalam istishna  dengan membatasi harga pokok ditambah laba tertentu adalah karena murabahah disyaratkan bahwa objek murabahah pada saat akad dibuat wajib sudah ada yang sudah dimiliki penjual dan harga harus diketahui pada saat akad murabahah dilaksanakan.  sedangkan akad istishna dilaksanakan sebelum barang  dimiliki karena ia merupakan jual beli barang dengan spesifikasi dalam jaminan yang status kepemilikannya belum ditentukan. Dan biaya punt  tidak diketahui kecuali setelah selesainya proyek sedangkan harga wajib diketahui ketika akad murabahah berlangsung.

3.2.6 Bila biaya riil produksi objek istishna  yang dikeluarkan lembaga keuangan syariah lebih murah dari biaya yang diperkirakan, atau lembaga keuangan syariah mendapatkan potongan harga dari produsen untuk kepentingan lembaga keuangan syariah dalam istishna paralel untuk memenuhi kewajiban akad bersama nasabah maka lembaga keuangan syariah tidak harus menurunkan harga yang telah disepakati dalam akad. dan nasabah tidak berhak atas  nilai potongan harga tersebut atau sebagiannya demikian juga sebaliknya jika biaya riil produksi lebih mahal dari biaya yang diperkirakan.

footnote 19 :  dasar hukum tidak diwajibkan bagi lembaga keuangan syariah untuk menurunkan harga jika ada penurunan biaya produksi yang dibiayai oleh perusahaan atau perusahaan mendapatkan diskon dari pihak lain adalah karena terpisahnya dua akad yaitu  istishna dan istishna paralel. Serta tidak ada ikatan di antara keduanya, maka setiap keduanya memiliki konsekuensi berbeda. Dewan Syariah baitul tamwil di kuwait  telah mengeluarkan  fatwa mengenai hal ini nomor 447.

3.3.2 dalam akad istishna lembaga keuangan syariah boleh baik sebagai produsen atau pemesan meminta jaminan-jaminan yang dipandang memadai untuk memenuhi hak lembaga keuangan syariah yang menjadi kewajiban pemesan atau produsen. Jika lembaga keuangan syariah bertindak sebagai pemesan maka diperbolehkan juga menyerahkan jaminan yang diminta oleh produsen baik berupa barang gadai  atau kafalah yaitu jaminan dari pihak lain atau hawalah haq yaitu pengalihan hutang atau rekening giro atau rekening investasi atau pemblokiran rekening.

footnote 20 : Dasar  hukum dibolehkannya bagi lembaga untuk mengambil jaminan yang layak baginya adalah karena dalam jaminan ini ada kekuatan untuk menjaga dan tidak merusak tujuan dari akan itu sendiri.


  1. Adendum atas akad istishna

4.1 revisi tambahan dan permintaan persyaratan baru 

4.1.1 produsen dan pemesan boleh membuat kesepakatan setelah akad istishna untuk merevisi spesifikasi yang disyaratkan pada objek istishna atau penambahan spesifikasi dengan menentukan penyesuaian harga dan penyesuaian jangka waktu untuk menyelesaikannya. Boleh dicantumkan dalam akan bahwa tambahan biaya atas revisi atau penambahan spesifikasi adalah dasarkan tambahan harga sebagaimana pendapat ahli atau urf  atau merujuk kepada indikator harga yang jelas dan dapat menghilangkan jahalah atau ketidaktahuan yang dapat mengakibatkan perselisihan 

4.1.2 Pemesan tidak berhak mewajibkan produsen untuk menambah atau merevisi spesifikasi atas objek istishna tanpa persetujuan produsen 

4.1.3 Tidak boleh ada penambahan harga atas perpanjangan waktu pembayaran adapun adanya pengurangan harga ketika pembayaran dilakukan lebih cepat maka dibolehkan apabila hal tersebut tidak disyaratkan dalam akad.

footnote 21 : dasar hukum tidak diperbolehkannya menambah harga karena adanya perpanjangan tempo pembayaran adalah karena hal tersebut termasuk riba 

footnote 22 : dasar hukum diperbolehkannya pengurangan harga ketika pembayaran dipercepat tanpa disyaratkan adalah karena sabda nabi shallallahu alaihi wasallam kepada ubay bin radhiyallahu Anhu yang artinya bebaskanlah setengah piutangmu hadits riwayat Bukhari majma’ al fiqh al islami telah mengeluarkan keputusan keputusan nomor 64 -2.7 

4.2 Kondisi tidak terduga atau kejadian kahar

4.2.1 Jika terjadi kondisi kondisi tidak terduga yang menyebabkan perubahan harga istishna baik bertambah ataupun berkurang maka hal ini diperbolehkan dengan kesepakatan kedua belah pihak atau melalui putusan arbitrase atau pengadilan dengan memperhatikan pasal 4.1.3 

4.2.2 akad istishna  boleh dilaksanakan untuk menyempurnakan  proyek yang telah dimulai oleh produsen sebelumnya. maka ketika itu wajib dilakukan penyelesaian perhitungan proyek sebelumnya berdasarkan kondisi terkini yang dibayarkan oleh nasabah kepada produsen sebelumnya. Dimana hutang-hutang jika ada menjadi kewajiban pribadi nasabah. setelah ini barulah akad isitishna dilaksanakan untuk menuntaskan pekerjaan yang tersisa tanpa mewajibkan lembaga keuangan syariah untuk meminta bantuan kepada produsen sebelumnya. bahkan dituangkan dalam bahwa lembaga keuangan syariah berhak menyelesaikan pekerjaan dengan cara apapun yang menurutnya sesuai 

4.2.3 boleh dituangkan dalam akad bahwa pemesan berhak melaksanakan sendiri pekerjaan istishna dengan biaya ditanggung oleh produsen ketika produsen tidak melaksanakan pekerjaan istishna atau tidak dapat menyelesaikannya dalam waktu yang telah ditentukan, terhitung sejak produsen menggantikan pekerjaan selama online istishna berupa bangunan-bangunan atau fasilitas-fasilitas yang dibangun di atas tanah pemesan.

4.2.4 jika produsen  tidak sanggup menyelesaikan pekerjaan istishna, maka bangunan-bangunan atau fasilitas-fasilitas yang telah dimulai pembangunannya namun belum selesai secara sempurna tidak bisa dimiliki pemesanan secara cuma-cuma, namun hal ini tergantung dari penyebab kegagalan untuk menyelesaikan pekerjaan. jika pekerjaan istishna tidak tuntas karena kesalahan produsen maka pemesan hanya menanggung senilai bangunan yang ada, serta produsen menanggung kerugian riil yang diderita pemesan. jika pekerjaan istishna tidak tuntas  karena kesalahan pemesan maka produsen berhak mendapatkan nilai bangunan sesuai dengan hasil atau pekerjaan yang telah ia kerjakan dan pemesan pun menanggung kerugian yang diderita produsen. jika tidak tuntasnya bukan karena kesalahan keduanya maka pemesan hanya menanggung senilai bangunan yang ada, dan keduanya tidak menanggung kerugian yang diderita salah satu pihak. lihat pasal 4.2.3

footnote 23 :  dasar hukum tidak adanya kuasa mustashni atas bangunan yang berdiri di tanahnya ketika shani’ tidak mampu menyelesaikan proyek adalah karena bangunan tersebut dibangun oleh shani’ atas permintaan mustashni, dan permintaan  lebih kuat dari izin. 

4.2.5 boleh ditambahkan ke dalam akad istishna suatu persyaratan yang menyatakan bahwa setiap syarat baru yang tidak tertuang dalam akad yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang dan hal tersebut berdampak kepada konsekuensi-konsekuensi biaya yang bukan merupakan kewajiban produsen berdasarkan akad awal atau undang-undang, maka hal tersebut sepenuhnya dibebankan kepada pemesan

footnote 24 :  dasar hukum diperbolehkannya menambahkan syarat dalam akad istishna yang mengatakan bahwa syarat baru apa saja dari instansi terkait maka konsekuensinya ditanggung sendiri dan tidak ditanggung oleh shani’ adalah karena hal tersebut terjadi atas kesepakatan kedua belah pihak dengan ridha keduanya dan tidak menghilangkan tujuan dari akad istishna itu sendiri. dewan syariah baitut tamwil kuwait telah  mengeluarkan fatwa mengenai hal tersebut, fatwa nomor 251.

  1. dgdf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salam dan salam mawazi

  Disadur dari pembelajaran online muamalah maaliyah (POMM-ETA) Bai’assalam adalah pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Termasuk salah satu jenis jual beli dimana harga dibayar dimuka. Dan harga ini dinamakan modal salam. Barang yang telah disebutkan spesifikasi nya dan dalam tanggungan penjual ditunda penyerahannya. Barang ini disebut muslam fiyh. Penjual disebut muslam ilayhi. Pembeli disebut rabbus salam atau muslim. Modal salam disebut ra's mal salam. Terkadang salam disebut juga dengan salaf.  Salam disyariatkan dalam al Qur'an, Sunnah dan ijma'.  Di dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah (2) ayat 282: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ.... “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hedaklah kamu menulisnya....” Ibnu Abbas dalam atsar yang diriwayatkan oleh Imam Asy Syafi’i, Thabrani, Al Hakim dan Baiha

Pengertian Qardh dan ariyah

 Disadur dari Pendidikan Online Muamalah Maaliah - erwandi Tarmizi Associatiaon ( POMM-ETA) Qordh secara bahasa pinjaman Dalam bahasa Arab dan istilah para fuqaha ada 2 kata yang bermakna pinjaman yang dalam bahasa Indonesia di sebut dengan pinjaman dan konsekwensinya berbeda.  1. Qordh adalah memberikan kepemilikan sesuatu kepada orang lain agar bisa digunakan dan yang dikembalikan dengan gantinya (badal) bukan ainnya, dan  termasuk aqad tabarruat. Pada asalnya qordh ini termasuk aqad riba tapi dibolehkan karena ada kebaikan disana. Seorang memberikan uang pecahan 💯 ribu dengan nomor seri tertentu, kemudian sepekan kemudian dikembalikan dengan 2 pecahan 50 ribu. Ini terjadi riba karena tidak tunai (riba nasiah) . Tetapi Allah dan rasul-nya membolehkan. Hukum nya sunnah bagi yang meminjamkan dan dia mendapat pahala. Bahkan para fuqaha berdasarkan dalil-dalil aqad qordh ini lebih utama dari sedekah. Padahal qordh uang kita dikembalikan. Melihat biasanya sedekah diterima dari orang lain

Zhalim dalam Bermuamalah

   Dzalim disadur dari materi audio POMM - ETA, Pendidikan Online Muamalah Maaliyah Erwandi Tramidzi Association, sangat dianjurkan mengikuti pembelajaran ini... Definisi ⦁    Dzalim secara bahasa berasal dari kata dzulm yang diartikan kegelapan. Yang sering diartikan berarti menempatakan sesuatu bukan pada tempatnya. ⦁    Secara istilah  mengerjakan larangna serta meninggalkan perintah Allah. Maka setiap perbuatan yang melampaui ketentuan syariat adalah perbuatan dzalim, baik dengan cara menambah atau mengurangi. ⦁    Lawan kata dzalim adalha adl Penerapan Dzalim Allah telah mengutus para nabi dan rasul serta membekali mereka dengan kitab-kitab agar mereka menegakkan keadilan atas hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Firman Allah dalam surat al hadid ayat 25 لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ و